Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP)
Komisi Kebenaran and Persahabatan (KKP) adalah prakarsa bersama Indonesia dan Timor-Leste yang didorong oleh Presiden SBY dari Indonesia dan Presiden Xanana Gusmao dari Timor-Leste. KKP terdiri dari 15 Komisaris: tujuh dari Indonesia, delapan dari Timor-Leste dan bekerja melalui sekretariat bersama di Bali. Pendanaan diberikan oleh kedua pemerintah.
KKP dimulai pada bulan Agustus 2005 dan menyerahkan laporan akhir pada bulan Maret 2008. Mandat KKP termasuk mengungkap kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia sebelum dan sesudah Jajak Pendapat di Timor-Leste pada 30 Agustus 1999 dan membuat rekomendasi untuk menyembuhkan luka masa lalu dan memperkuat persahabatan berdasarkan catatan sejarah bersama.
KKP meninjau keempat kumpulan dokumen yang relevan yang dihasilkan oleh (a) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Indonesia (KKP-HAM); (b) CAVR; (c) Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta; dan (d) Panel Khusus untuk Kejahatan Berat di Timor-Leste. KKP juga mendengar dari beberapa saksi.
Mandat KKP juga termasuk mengumpulkan temuan tentang tanggung jawab institusional, merekomendasikan amnesti bagi mereka yang memberikan kerja sama penuh dan membersihkan nama-nama mereka yang ‘dituduh secara salah’. Komisi memilih untuk tidak melaksanakan kedua mandat terakhir yang kontroversial yang menimbulkan kritik keras dari PBB dan organisasi sipil di kedua negara.
Laporan KKP – Per Memoriam Ad Spem
Judul dari laporan ini Per Memoriam Ad Spem (Melalui Ingatan ke Harapan) mencerminkan keprihatinan Komisi untuk mengambil pelajaran dari masa lalu untuk sebuah masa depan yang penuh harap.
Laporan sepanjang 380 halaman ini tersedia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Laporan ini dibagi menjadi tiga bagian:
Bagian I: tujuan, mandat dan proses
Bagian II: temuan dan analisis
Bagian III: kesimpulan, rekomendasi dan langkah tindak lanjut
Laporan ini juga memiliki 13 lampiran termasuk daftar pengajuan, narasumber dan isu-isu yang dikaji.
Unduh Laporan KKP (Bahasa Indonesia)Temuan dan rekomendasi umum untuk laporan CAVR dan KKP
Cakupan KKP lebih sempit dan terbatas dibandingkan dengan CAVR.
KKP fokus hanya pada dua periode singkat pada tahun 1999 dan tanggung jawab institusional atas pelanggaran dan tidak memfasilitasi rekonsiliasi antara korban dan pelaku. Meski laporan tersebut mengakui bahwa Indonesia bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan tahun 1999, laporan tersebut tidak merekomendasikan proses peradilan. Akibatnya, relevansi dan dampak langsung pada korban sangat minim tapi jika rekomendasi-rekomendasi tersebut dilaksanakan, maka ada terobosan untuk kebutuhan dan hak-hak korban.
CAVR menangani periode 25 tahun selama 1974-1999 dengan pendekatan yang berbasis pada korban, menyembutkan nama dan institusi pelaku, memfasilitasi rekonsiliasi komunitas dan memasukkan rekomendasi untuk menindaklanjuti upaya keadilan.
Laporan dari kedua komisi sama-sama sepakat bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan pada tahun 1999 dan bahwa militer Indonesia dan milisinya yang berada dibawah kendalinya bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Kedua laporan juga membuat rekomendasi serupa dalam kaitannya dengan hal-hal berikut: pelatihan tentang hak asasi manusia bagi militer dan polisi di kedua negara; pembentukan lembaga tindak lanjut; pemulihan bagi korban, serta program untuk anak-anak Timor hilang dan terpisah.
Dalam Perpres No 72, 6 Oktober 2011, Presiden SBY menyatakan bahwa pemerintah kedua pihak, Indonesia dan Timor Leste, menerima isi dari laporan KKP dan berkomitmen untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi yang tercantum di dalamnya melalui rencana aksi yang akan dituntaskan dalam 5 tahun, yaitu Oktober 2016. Presiden menugaskan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk melaksanakan rencana aksi tersebut di Indonesia.